Menjadi miskin untuk sebagian besar kita adalah momok. Sesuatu yang menakutkan karena berbahaya dan ganas. Kemiskinan dengan caranya sendiri mampu mencerabut kepercayaan diri dan berujung pada ketidakpercayaan bahwa tak ada hal yang tak mungkin di dunia ini, bahwa semua dapat diraih dan teraih, bahwa nasib masih menjanjikan perbaikan. Dan janji tentang sinar terang yang menunggu di pangkal lorong kemudian diyakini sebagai ilusi.
Absurd.
Tak terwujud.
Menjadi miskin juga menguras pikiran. Orang dipaksa berpikir hebat, berakrobat, mengakali apa yang akan dimakannya hari ini, apakah uangnya mencukupi, apakah sewa rumah sudah dibayar, apakah tunggakan listrik dapat terlunasi, apakah pemilik kontrakan yang pongah berhenti menjajah, apakah pusing kepala dapat teratasi hanya dengan menenggak teh panas, apakah dagangan habis terjual, apakah hari ini kucing-kucingan melawan petugas ketertiban umum dapat dihindari, apakah rumah dari tripleks ini mampu bertahan di tengah kabar penggusuran, apakah bapak di dalam taksi itu akan merogoh koceknya dan membeli koran yang dijajakan, apakah…
Dan menjadi miskin di negeri di mana orang-orang bergegas untuk menyelamatkan kepentingannya masing-masing; dan lalai memperbaiki jaminan kesehatan, abai membenahi sistem transportasi, gagal menyediakan pendidikan yang baik dan terjangkau, membiarkan inflasi membumbung, mendiamkan yang papa menjadi kian lara, tempat di mana orang dihargai berdasarkan apa yang disandangnya, apa yang dimilikinya, menjadi miskin menjadi satu hal yang harus dijauhi dengan sekuat tenaga.
Menjadi miskin bisa jadi hal yang menakutkan bagi Gayus Tambunan. Besar di perkampungan padat di bilangan Warakas, Jakarta Utara, Gayus mungkin telah menasbihkan diri untuk menolak tunduk pada nasib.
Ia tak perlu menunggu lama. Hanya perlu waktu lima tahun selepas menyelesaikan pendidikan di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, ia mampu membuat jarak dengan kemiskinan. Perjalanan mengantarkannya pada sinar terang di ujung lorong. Rumah besar nan apik, uang puluhan miliar di rekening, dan kendaraan pribadi yang mewah.
Dan Warakas adalah masa lalu.
Gayus mungkin abai pada pameo: ada kehidupan setelah kematian, kehidupan yang jauh lebih kekal, tempat yang baik dengan sungai-sungai yang mengalir di bawahnya. Tempat di mana semua yang kita kerjakan diganjar dengan beragam kebaikan.
Untuk Gayus, surga adalah hari ini.
Dan tak ada kemiskinan di surga bukan?
harusnya sih nunggu hsl wawancara si Gayus dl, apa iya seperti itu? tapi karena dunia tulis-menulis adalah wilayah rekaan, jadi sah-sah saja. :)
Like This
bravo! akhirnya menulis lagi setelah absen nyaris sewindu.
Atta, splendid. Dirimu emang penulis handal. Gile, indah banget…Great piece….
Nice writing indeed!
Melihat dari sisi yang tidak terlihat (oleh kebanyakan orang).
*kangenattadotcom*
saya pun salah satu penyuka Mba Atta..
selamat datang kembali..selamat menulis kembali..
Ah, tapi uang miliknya gak sampai puluhan miliar kan? Itu cuma uang numpang lewat jatah pada jenderal :0
Insightful Ta.
always love your blog… cara-mu bercerita..indah banget deh mba..bagaikan kado yang di bungkus apik dengan pita dan serasi banget warna2nya …
keep writing ya mba..
terima kasih semua -peluk- ;)
semoga kisah gayus menjadi inspirasi untuk menjadi lebih baik.
wowwwww, as always, nice writing..
apa kabar, atta? masih inget aku? :D
Atta, thank you udah ditengok, kangen juga sama tulisan2 mu, pa kabar bu :) ?
Salahkah Gayus bila ia takut pada kemiskinan? Salahkah bila Gayus-Gayus lain, yang sudah bosan atas himpitan kemiskinan, mencoba mencari jalan pintas?
Bisa jadi kita punya andil dalam membuat mereka berusaha mencari jalan pintas. Mungkin mereka belajar dari kita, ketika kita menggenggam erat harta tanpa mau berbagi. Hingga mereka berpikir harta adalah segalanya, dan kemiskinan adalah sebuah dosa. Dan korupsi adalh sebuah penyelamatan diri. Mungkin. Mungkin. Mungkin. Hanya kata mungkin. Karena kita tak tahu pasti apa yang sedang terjadi. Bukankah kebenaran terlalu mudah dimanipulasi?
ya ada kehidupan setelah kematian. dan kita harus berupaya ituhhh
laik dis, mbak.
kangenkangenkangen.
:D
Selalu memikat seperti biasanya.
Saya juga takut pada kemiskinan. Tapi semoga menemukan jalan yang tak merugikan siapapun.
At least si Gayus pernah mengalami masa2 di mana perempuan2 berteriak: Gayusss kutunggu dudamu… :p
*Maaf saya lebih suka tetap jayus dari pada jadi gayus
Gayus,..oh gayus,…
Kau seolah terpejam oleh kehidupan lamamu,…
* To Mba Atta,.nice mba’ Really miss ur article *
Uang.. Oh, Uang…. :D
Ga’ kebayang ntar Gayus (dan orang-orang seperti Gayus) matinya gimana :(
Serem.
salam kenal,
ikut komen…
pilih jayus apa gayus…:):):)
Gayus tambunan yang selama ini membuat masyarakat menderita atas apa yang ia lapukan.
Kemiskinan akan berkurang dengan adanya kepedulian kita terhadap sesama
menyukai blog ini sejak tahun 2005 tapi lebih sering menjadi silent reader
tetap menulis mbak atta
tulisan anda seringkali memberikan ‘rasa’ yang berbeda dari tulisan-tulisan media tentang topik yang sama. rasanya lebih mengena, tajam tapi tidak menyakitkan
dasar perempuan!
selalu punya cara yang lembut
untuk membungkus sekalipun hal itu amat nyeri!
bumi yang luka itu
sesekali perlu dibalut juga
jadi ingat lagu selendang sutra……
Slm knl n’ prshbtan,
Tulisan-tulisan anda sangat menarik tuk di baca, saya menyukainya.